PDM Jakarta Selatan - Persyarikatan Muhammadiyah

 PDM Jakarta Selatan
.: Home > Artikel

Homepage

Anak Muda Hijrah di Mata NU dan Muhammadiyah

.: Home > Artikel > PDM
11 Oktober 2019 14:47 WIB
Dibaca: 1808
Penulis : Admin

Image result for hijrah fest


Kemunculan para salafis mendapat tanggapan positif dari generasi milenial, musisi, artis, atlet, hingga geng motor. Mereka pun menganggapnya sebagai inspirasi hijrah.

NU dan Muhammadiyah sementara itu masih berjalan di jalur konvensional dengan medium pembelajaran pesantren dan metode dakwah langsung tatap muka.


Pengurus Besar Nahdhatul Ulama (PBNUmenyadari ada geliat berhijrah yang menjangkiti kalangan muda di wilayah perkotaan. PBNU juga ikut mengamati kebanyakan generasi milenial tersebut banyak yang hijrah karena pengaruh dakwah ulama salafi, bukan dari NU.

Ketua PBNU, Marsudi Suhud menanggapi fenomena tersebut dengan mengatakan bahwa tren hijrah anak muda di Indonesia sudah dimulai lebih dulu oleh NU. Wadah NU bagi anak muda untuk berhijrah adalah melalui pondok pesantren. 

Pondok pesantren telah menjadi episentrum bagi anak muda Indonesia yang ingin mendalami agama sejak lama. Bahkan, kata Marsudi, tradisi itu sudah dimulai sebelum Indonesia merdeka.

"NU itu pesantren sebagai titik hijrahnya. Artinya sudah ada dari dulu sebelum ada Republik Indonesia," kata Marsudi kepada CNNIndonesia.com April lalu.

Lebih dari 23 ribu pondok pesantren milik NU yang tersebar di seluruh Indonesia menurutnya sudah menjadi sarana berhijrah bagi anak muda. Pesantren dianggap sudah teruji punya kapasitas sebagai wadah yang tepat untuk mendalami Islam ketimbang aliran atau metode lain. 

 

HIJRAH EMBARGO 6

Ketum PP Muhammadiyah Haedar Nasir dan Ketua PBNU Said Aqil Sirajj. (Dok. Istimewa)


Marsudi mengatakan pesantren diisi oleh ustaz atau kiai yang jelas silsilah keilmuan maupun dalil-dalilnya. Materi dan berbagai kitab yang digunakan pun dapat dipertanggungjawabkan, komplit dari sisi agama maupun keilmuan.

"Kalau yang di pinggir jalan atau media sosial ukurannya dari mana kan tidak jelas. Kebenarannya yang dimiliki pesantren diukur dari materi-materinya yang jelas dan dari guru-guru yang mutakhir," kata dia.

PBNU punya beragam badan otonom tersendiri yang memiliki tugas untuk menyiarkan syiar dan dakwah bagi kalangan anak muda, di antaranya adalah Ikatan Pelajar NU (IPNU) dan Pelajar Perempuan NU untuk menjangkau kalangan pelajar, hingga Perihimpunan Mahasiswa Islam Indonsia (PMII) untuk menjangkau kalangan mahasiswa. 

Selain itu ada organisasi Gerakan Pemuda Ansor (GP Ansor) dan Fatayat NU yang juga punya tujuan untuk menyiarkan syiar dan wadah sebagai tempat anak muda berhijrah.

Marsudi tak mempersoalkan bila berbagai pemikiran Islam transnasional kini berkembang di Indonesia, tak terkecuali pemikiran Islam salafi. NU mafhum Indonesia merupakan negara demokrasi terbesar yang sulit untuk membendung ajaran apapun untuk masuk ke dalamnya. 

 

NU, kata Marsudi, menilai gaya dakwah ala salafi bisa diterima anak muda karena para ustaznya pintar menangkap pangsa pasar lewat jalur media sosial.


"Para ustaz-ustaz [salafi] itu cerdas menangkap pasar dengan medsos," kata dia.

Marsudi mengatakan kiai-kiai NU dan berbagai badan otonom di bawah PBNU sudah mulai gencar memanfaatkan medsos sebagai arena dakwah.

Ia menyebut beberapa kiai senior NU, seperti Mustofa Bisri atau Gus Mus, Ahmad Muwafiq atau Gus Muwafiq dan dirinya sendiri sengaja membuat kanal Youtube sebagai sarana dakwah agar sampai pada akar level akar rumput.

"Kiai Gus Mus dan kiai NU lain sudah pakai bahasa sesuai standar pemikirannya," kata Marsudi.


Muhammadiyah sementara itu masih lebih memilih cara konvensional yakni dengan bertatap langsung terhadap anak-anak muda yang ingin mendalami Islam ketimbang memanfaatkan media sosial

"Bagaimana pun juga cara-cara tradisional akan tetap lebih punya makna dan lebih bisa dipertanggungjawabkan secara isi dibandingkan dengan mereka yang belajar secara online. Muhammadiyah punya kajian yang beda dengan ustaz di media sosial," ujar Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu'ti kepada CNNIndonesia.com, April lalu.

Menurut Mu'ti, mereka yang belajar dengan menonton kajian ustaz melalui media sosial hanya dapat melakukan interaksi satu arah tanpa pendamping. Selain itu, kajian yang ditampilkan di media sosial umumnya juga tak disertai referensi yang jelas. Waktunya pun sangat singkat karena terbatas durasi antara dua hingga lima menit. 

"Sehingga begitu mereka mendapat informasi yang keliru, akibatnya bisa menjadi sangat serius. Jadi itu semacam tren yang akan come and go," katanya.


Kajian ustaz melalui media sosial soal hijrah bukannya tak memberi dampak negatif. Mu'ti mengatakan pembelajaran agama melalui media sosial sangat rawan disalahgunakan karena minim pengawasan. 

"Dia juga cenderung mengerti banyak tapi tidak mendalam dan nanti pada konteksnya akan mendatangkan masalah," tutur Mu'ti. 

Mu'ti menilai fenomena hijrah yang marak belakangan memang lebih banyak menyasar kelas menengah perkotaan. Hal ini tak lepas dari jumlah masyarakat kelas menengah yang mendominasi penduduk Indonesia. 

Secara statistik, kata Mu'ti, jumlah masyarakat kelas menengah mencapai hampir 100 juta jiwa. Merujuk pada sistem kelas yang berlaku di Inggris, ada tiga kelas menengah yang dominan di Indonesia yakni established middle classrising middle class, dan falling middle class

"Kelompok yang menjadi sasaran mereka itu established dan rising middle class karena jumlahnya banyak dan kebanyakan berusia muda," ujar Mu'ti.

(rzr/DAL)
 

Tags: AnakMudaHijrahdiMataNUdanMuhammadiyah
facebook twitter delicious digg print pdf doc Kategori : Wawasan

Berita

Agenda

Pengumuman

Link Website